
Menanggapi hal tersebut Eros Djarot menyatakan mohon maaf jika syuting ini membuat warga resah. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa di filmnya ini ia hanya ingin mengangkat nilai percintaan, kasih dan kelembutan yang sudah banyak ditinggalkan di film-film lain. Saat ini, film Indonesia mengedepankan seks dalam drama pencintaannya.
Namun permintaan maaf saja tidak cukup, karena yang diinginkan masyarakat adalah film itu dihentikan. Khoirul dan massa ormas Islam tetap menolak syuting film itu dilaksanakan di Solo dan sekitarnya. Dia menganggap ada bau politik yang menyeruak dalam syuting itu. Bukan hanya Ormas Islam saja yang menentang film ini, Ketua Presidium Front Anti Komunisme Surakarta, Mudrick Sangidoe menyatakan pembuatan film yang disinyalir mengandung muatan komunis itu harus dihentikan. Mudrick juga meminta pemerintah, anggota legislatif dan masyarakat untuk memiliki kepekaan yang lebih terhadap kasus ini dan secara bersama-sama menentang segala bentuk komunisme.
Mudrick mengaku telah menghubungi pihak-pihak terkait untuk membahas masalah tersebut.
”Kalau ternyata benar memuat ajaran komunis atau terjadi pemutarbalikan fakta tragedi ‘65, maka sudah semestinya masyarakat menentang. Apalagi di Solo sendiri pada bulan Oktober tahun 1965 pernah terjadi tragedi PKI. Yaitu 17 orang dibantai oleh PKI. Kalau pembuatan film itu terus berlanjut dan ternyata benar-benar bermuatan komunis, pihak terkait yang terlibat pembuatan film harus bertanggung jawab kalau nantinya akan ada perlawanan dari masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu Kapoltabes Solo Kombes Pol Ahmad Sukrani melalui Kasat Intelkam Poltabes Solo Kompol Jaka Wibawa, mengatakan, kalau materinya dalam film berbeda dengan di lapangan. Hal itu, diketahui setelah klarifikasi ke Mabes Polri. "Izin awalnya percintaan, tapi ditemukan di lapangan berbeda dan ada nuansa semacam itu. Terpaksa kita belum bisa memberi izin, " katanya.
No comments:
Post a Comment