Laman

Sunday, December 16, 2007

PRESS RELEASE GERAKAN MAHASISWA (GEMA) PEMBEBASAN PUSAT TENTANG PENGURANGAN SUBSIDI BBM

Share

Pada tanggal 3 Desember 2007 Pemerintah yang diwakili Budiono, Menteri Koordinator Perekonomian memastikan untuk melepas sebagian premium bersubsidi dengan mengalihkan ke premium oktan 90 dan Pertamax yang saat ini ditujukan kepada pengguna kendaraan pribadi (Kompas, 4/12/07). Kebijakan tersebut akan dilakukan secara bertahap pada awal Januari 2008 yang dimulai di kawasan Jabodetabek.

Selanjutnya pengurangan supply Premium bersubsidi tersebut akan diteruskan di beberapa kota seperti Bali dan Batam. Kebijakan ini tersebut merupakan salah satu opsi yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi. Selama 2008 ditargetkan pengalihan premium 88 ke 90 sebanyak 2-2,5 juta kiloliter atau lebih dari 50 persen untuk daerah Jawa, Bali dan Batam. Pada 2009, program pengalihan akan mencakup seluruh kota besar di Jawa dengan akumulai volume premium oktan 88 yang dikonversi mencapai empat juta kiloliter dan 2010 di kota lainnya di Indonesia dengan target akumulasi tujuh juta kiloliter. Dengan demikian, tujuh juta kiloliter dari konsumsi premium nasional sekitar 17 juta kiloliter per tahun telah dialihkan hingga 2010 (Antaranews, 7/12/08).

Hal ini juga tercantum dalam Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2008, dimana alokasi anggaran subsidi BBM yang disalurkan kepada PT Pertamina akan dikurangi hingga Rp15,14 triliun menjadi Rp46.702,8 miliar dari Rp 61,84 triliun pada APBN 2007 atau sebesar 32,4%. Penurunan beban subsidi BBM tersebut terutama disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi konsumsi premium bersubsidi dan konversi minyak tanah ke LPG.

Rencana pengurangan tersebut berbarengan dengan penurunan alokasi anggaran subsidi listrik yang disalurkan kepada PT PLN dalam tahun 2008 direncanakan mencapai Rp27.837,3 miliar, atau turun 14,3 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi subsidi listrik yang diperkirakan dalam RAPBNP tahun 2007. Termasuk dalam hal ini adalah pengurangan subsidi pupuk.
Berdasarkan hal tersebut, maka Gerakan Mahasiswa Pembebasan menyatakan kebijakan tersebut harus ditolak dengan sejumlah alasan:

1. Berdasarkan Information Energy Administration pada tahun 2006, total produksi minyak indonesia sebesar 1.102,3 juta barel per tahun sementara konsumsinya mencapai 1.218,6 juta barel, sehingga negara yang sejak 2004 menjadi net importir ini harus mengimpor sebanyak 116,3 juta barel pada tahun 2006. Meski demikian berdasarkan Annual Statistic Report OPEC 2006, Indonesia masih melakukan ekspor minyak mentah senilai 98,55 juta dollar pertahun. Produksi minyak mentahnya mencapai 883.000 barrel perhari. Adapun cadangannya berada pada angka 4. 370.300 juta barel. Meski menjadi net importer, Indonesia masih melakukan ekspor minyak mentah sebanyak 301, 300 barel dengan nilai 98, 55 juta dolar dan pada saat yang sama mengimpor sebesar 116,3 juta barel pertahun atau senilai 75,71 juta dollar pertahun.

2. Dari total produksi tersebut tidak semua milik pemerintah. Sebab pemerintah Indonesia harus berbagi dengan pihak swasta melalui productions sharing contracts atau sering disebut dengan KPS. Berdasarkan undang-undang, skema bagi hasil antara pemerintah dengan pengelola swasta adalah 85 persen untuk pemerintah dan 15 persen untuk swasta. Namun jika dimasukkan biaya-biaya lain seperti cost recovery maka nilainya menjadi 60 untuk pemerintah dan 40 untuk swasta. Dengan demikian dari total produksi minyak mentah di atas, bagian pemerintah sekitar 600.000 barel atau 95.400.000 liter (1 barel setara dengan 159 liter) yang kemudian diolah menjadi beberapa jenis bahan bakar seperti minyak tanah, solar, premium dan pertamax dan sebgian lagi diekspor.

3. Pendapatan Pemerintah dari penjualan minyak tersebut dapat diperkirakan sebagai berikut:
Pertama, total produksi minyak Indonesia pada tahun 2005 mencapai 125.000 barrel per hari yang dibagi menjadi Bagian Pemerintah dan Pertamina sebesar 663.500 barrel (58,98%) dan bagian Kontraktor Production Sharing (KPS) sebesar 461.500 barrel (41,02%). Dari bagian pemerintah tersebut yang dikilang Pertamina sebanyak 563.200 barrel. Sisanya sebanyak 100.300 barrel diekspor yang terdiri dari ekspor BP Migas 33.300 barrel dan Ekspor Exchange sebanyak 67.000 barrel perhari (www.bisnis.com 13/9/05).

Kedua, besar biaya produksi minyak mentah tersebut menurut Kwik Kian Gie sebesar 560 jika dibulatkan menjadi 600 rupiah perliter. Angka tersebut didapatkan dari biaya produksi per barel sebesar 10 dollar mulai dari biaya penyedotan (lifting), pengilangan (refinary) hingga distribusi. Jika 1 barel 159 liter maka harga perliter premium adalah adalah 628 dibulatkan menjadi 650 rupiah perliter (10 dollar x 10.000 / 159). Dengan demikian keuntungan pemerintah pada harga Rp 2.700 adalah Rp 2.050 per liter dan Rp. 3.850 pada harga Rp. 4.500 (4.500-650). Jika diasumsikan seluruh bagian pemerintah yang dikilang pertamina sebanyak 563.200 barrel dijadikan sebagai Premium maka keuntungannya mencapai 344.762.880.000 per hari (563.200 barrel x 159 liter/barrel x Rp 3.850) atau 125,8 trilun pertahun. Jika produksi Premium tahun 2006 sebesar 17.069.600.000 liter (www.esdm.go.id) maka pemerintah diperkirakan meraup keuntungan sebesar 65.7 triliun (17.069.600.000 x Rp. 3.850). Keuntungan ini belum termasuk penjualan solar sebesar 25.204.120.000 liter. Jika harga solar Rp. 4.300 per liter dengan asumsi biaya produksinya sama dengan Premium (meski secara teori lebih rendah) maka keuntungan pemerintah sebesar 91.9 triliun. Belum lagi pada faktanya solar untuk industri harganya telah mengikuti harga internasional.

Ketiga, dengan menggunakan data tahun 2005, total ekspor minyak Indonesia sebesar 100.300 barrel yang terdiri dari ekspor BP Migas 33.300 barrel dan Ekspor Exchange sebanyak 65.000 barrel perhari (bisnis.com 13/9/05). Jika asumsi harga minyak dunia sebesar 60 dollar saja (sekarang lebih dari US 90 dollar) maka pendapatan pemerintah sebesar adalah 6.018.000 dollar per hari (100.300 x 60) atau Rp 60,180 miliar dengan asumsi 10.000/ dollar setara dengan 21.966 triliun pertahun.

Keempat, memang pemerintah melakukan impor untuk menutupi kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri sebesar 116,3 juta barel pada tahun 2006, tapi angka tersebut masih lebih rendah dibanding pendapatan ekspor ditambah dengan keuntungan dari penjualan BBM dalam negeri. Jika jumlah impor sebanyak 116,3 juta barel pertahun (2006) maka dengan asumsi harga 60 dollar perbarel nilainya mencapai Rp 69,780 triliun. Secara tersirat pemerintah pun mengakui hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu: "...kenaikan harga minyak hingga 81 dolar AS per barel tersebut berdampak positif bagi Indonesia. Nilai minyak yang diekspor lebih besar dibandingkan yang diimpor. Dampaknya ke anggaran pemerintah menjadi netral karena kelebihan penerimaan dari hasil ekspor itu dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan subsidi BBM". (Kompas, 19/9/07). Berdasarkan hal diatas maka kenaikan minyak dunia hingga mencapai 100 dolar sekalipun tidak membuat anggaran jebol.

4. Pendapatan pemerintah dari sektor Migas semestinya bisa lebih besar dibandingkan dengan pendapatan saat ini. Kontrak Profit Sharing (KPS) sebesar 85 persen untuk pemerintah dan 15 untuk swasta dapat diminimalisir jika Indonesia mampu mengelola minyaknya sendiri. Namun sayangnya justru pihak asing merajai pengelolaan migas di negeri ini. Saat ini sekitar 92 persen dari produksi minyak Indonesia dikontrak oleh pihak asing (www. Mediacare, 18/9/07) dalam bentuk KPS. Pertamina bukan lagi pemain utama dalam industri migas Indonesia. Dengan produksi hampir mendekati 44% dari total produksi minyak Indonesia Chevron Pacific Indonesia tercatat sebagai perusahaan dengan produksi minyak paling dominan. Bahkan selama tiga tahun perusahaan tersebut terus memantapkan posisi sebagai leader dalam produksi minyak. PT Pertamina sebagai BUMN menempati urutan kedua dengan produksi 136.12.000 ribu bph dengan pangsa produksi sebesar 11,53%. Bahkan kini sepuluh daftar pemain terbesar (top ten) migas di Indonesia, hanya ada dua perusahaan nasional, yakni Medco dan Pertamina, sisanya adalah pemain asing seperti Chevron, ConocoPhillips,Total, ExxonMobil Oil Indonesia dan PetroChina (Seputar Indonesia, 31/10/07).

5. Selama ini pemerintah senantiasa mendasarkan harga minyak mentah yang diproduksi dan dijual dalam bentuk BBM di dalam negeri dengan mengacu pada harga internasional (MOPS/ Mid Oil Platts Singapore) yang kini lebih dari 90 dollar per barel. Setiap kali tejadi peningkatan minyak dunia yang lebih tinggi dari asumsi APBN maka pemerintah mengklaim bahwa beban subsidi yang harus dikeluarkan semakin berat. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah apa yang disebut kerugian subsidi merupakan selisih antara harga minyak internasional dengan harga produksi pertamina. Dengan kata lain kerugian tersebut bukanlah actual loss namun potential loss. Namun sayangnya pemerintah tidak konsisiten dengan sikap ini. Buktinya pada saat harga minyak dunia turun menjadi 54 dollar per barel, pemerintah tidak ikut menurunkan harga BBM.

6. Seringkali pemerintah beralasan bahwa selama ini subsidi tidak tepat sasaran sehingga merugikan rakyat yang berpendapatan menengah ke bawah danm oleh karena itu subsidi tersebut harus dicabut dan dialihkan dalam bentuk subsidi langsung. Namun demikian, jika mengacu pada kebijakan tahun 2005, kenaikan harga rata-rata 126 persen dengan alasan untuk memperbaiki perekonomian justru bertolak belakang dengan fakta. Kenaikan BBM yang tinggi menjelang akhir tahun 2005 tersebut menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 17,11 persen selama tahun 2005. bahkan pada pada awal tahun 2006 perekonomian Indonesia mengalami kelesuan. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama dan kedua masing-masing berada pada level di bawah 5 persen, lebih lambat dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yang masing-masing sekitar 6 persen. Dan yang lebih parah angka kemiskinan dan tingkat kesejahteraan rakyat semakin memburuk. Menurut BPS (2007), angka kemiskinan naik 2 juta sejak tahun 2005 yang terutama disebabkan oleh kebijakan Pemerintah menaikkan BBM.

7. Salah atau alasan utama yang sering dikemukakan oleh pemerintah dan para pendukung pencabutan subsidi BBM adalah selama ini subsidi BBM salah sasaran dan oleh karena itu harus direvisi dengan mencabut subsidi tersebut dan dialihkan langsung kepada orang-orang miskin. Tapi pada faktanya pengurangan subsidi BBM selama ini justru semakin mengurangi daya beli masyarakat khususnya menegah ke bawah. Salah satu dampaknya adalah kenaikan biaya transportasi. Menurut Soehari Sargo kampanye pemerintah tentang 84 persen subsidi BBM sebesar Rp 72 triliun dinikmati oleh golongan kaya, amat menyesatkan. Alasannya, sekitar 94 juta orang yang selama ini ikut menikmati subsidi BBM akan menderita akibat kenaikan harga BBM itu. Perinciannya, hingga tahun 2004 terdapat 4,5 juta kendaraan pribadi, sepeda motor 24 juta dan kendaraan umum/bus ada 700.000. Dengan perkiraan jumlah penumpang per hari sekitar 100 orang, maka jumlah pengguna kendaraan umum adalah 70 juta (Suara Pembaharuan, 10/3/05). Kemiskinan memang harus direduksi, pengembangan energi alternatif untuk sustainability ketersediaan energi juga harus dioptimalkan. Meski demikian kebijakan yang ditempuh tidak dengan cara membuat rakyat semakin menderita.

8. Kebijakan tersebut sejatinya merupakan upaya untuk mencabut subsidi meski dilakukan secara bertahap. Hal ini jelas merupakan bagian dari proses implementasi UU Migas No. 22/2001 yang ditunjang dengan UU Investasi yang sarat dengan muatan kepentingan perusahaan-perusahaan asing yang sedang dan akan beroperasi di negara ini. Salah satunya adalah pengaturan agar harga BBM sesuai dengan harga internasional. Dengan demikian perusahaan-perusaan asing dapat menguasai kepemilikan dan pengelolaan serta pasar migas negeri ini. Walhasil kebijakan ini merupakan konsekuensi jika minyak dijadikan sebagai komoditas murni dan pihak pemerintah memosisikan dirinya sebagai pelaku ekonomi yang motif utamanya mengejar keuntungan meski harus merugikan rakyat. Inilah ciri utama perekonomian yang berbasis Kapitalisme.

9. Sikap tersebut jelas bertentangan dengan syari’ah sebab minyak bumi termasuk bagian dari barang tambang yang memiliki deposit yang sangat besar sehingga masuk dalam kategori kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah). Dengan demikian pengelolaannya harus dikendalikan oleh negara bukan oleh swasta apalagi pihak asing. Konsekuensinya nilai komoditas tersebut tidak diserahkan kepada harga pasar tapi dengan harga yang tidak membebani rakyat. Alasan inefisiensi yang selama ini dikeluhkan kepada BUMN tidak dapat dijadikan legitimasi untuk mengalihkan pengelolaan dan penguasaaan komoditas tersebut kepada swasta namun yang perlu dilakukan adalah pembenahan birokrasi dan manajemen BUMN. Keterbatasan SDM dan kurangnya dana investasi dari pemerintah serta alasan inefisiensi tidak dapat menjadi justifikasi untuk menyerahkan kepemilikan dan pengelolaannya kepada pihak swasta. Disamping untuk menjamin keamanan cadangan energi (energy security), jumlah dana yang dapat diperoleh dari sektor tersebut sangat besar sehingga pembelanjaan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas BUMN harus ditingkatkan, apalagi dana menganggur (iddle money) di negeri ini cukup besar seperti dana di sejumlah rekening pejabat departemen dan dan yang diparkir di SBI. Mayoritas karyawan-karyawan yang dikontrak oleh perusahaan-perusahaan asing adalah warga Indonesia cukup untuk membantah keterbatasan SDM negeri ini.

10. Terakhir, Gerakan Mahasiswa Pembebasan menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia khususnya kaum muslimin untuk melepaskan diri dari cengkraman sistem Kapitalisme dan kembali kepada Syariah Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah termasuk menjadikan syariah Islam sebagai basis dalam pengelolaan sumber daya alam.

Jakarta, 26 Desember 2007
Sekjen GEMA Pembebasan

No comments: