Laman

Wednesday, January 7, 2009

Mengapa Krisis Global Berdampak Signifikan Bagi Indonesia?

Share

Krisis finansial yang terjadi saat ini bukanlah datang secara tiba-tiba. Prediksi akan terjadi krisis finansial global bahkan telah diperkirakan sejak beberapa tahun lalu. Demikian pula prediksi besarnya potensi tahun 2008 terjadi resesi di Amerika Serikat, sejak awal telah disampaikan oleh ECONIT dan Tim Indonesia Bangkit. Kelemahan struktural ekonomi Amerika Serikat baik dalam bentuk defisit fiskal, defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, maupun ancaman inflasi energi dan kegiatan spekulasi, telah menjadi faktor pendorong.

Bila Amerika Serikat mengalami shock, dampaknya pasti akan besar bagi Indonesia. Memang benar Negara-negara Asia Timur terutama China, India, dan Korea telah menjadi magnet baru pertumbuhan ekonomi dunia. Namun bukan berarti akan terjadi decoupling (pemisahan) antara ekonomi Amerika dan Asia Timur. Dampak negatif pasti terjadi walaupun ada lag waktu dalam proses transmisinya. Ini terjadi karena trade, financial dan economic linkages antara kedua kawasan masih sangat kuat.

Dampak krisis Amerika Serikat bagi setiap negara akan berbeda-beda. Berdasarkan pengalaman krisis ekonomi di Amerika Latin dan Asia, negara-negara yang memiliki kelemahan struktural seperti Indonesia (1997/98) ternyata menerima dampak yang lebih besar dari negara asal krisis seperti Thailand (Juli 1997). Sayangnya, pemerintah dan ekonom pro pasar bebas telah salah prediksi dengan meyakini bahwa krisis 2008 tidak akan lama dan hanya di sektor finansial. Analisa yang dangkal ini berdampak negatif karena pemerintah SBY-JK akhirnya tidak melakukan langkah antisipasi.

Beda Krisis 1998 dan 2008
Ada perbedaan besar krisis 1998 dan 2008 baik dari penyebab maupun ketahanan untuk menghadapi shock. Pada tahun 2008 ekonomi nasional mengalami kerapuhan bagaikan orang yang mengidap penyakit osteoporosis. Bagus di luar tetapi keropos di dalam, sehingga indikator finansial yang kinclong menutup buruknya kinerja sektor non finansial. Liberalisasi keuangan yang cepat mengakibatkan industri keuangan mudah digoyang berbagai faktor eksternal karena mudahnya dana jangka pendek keluar dan masuk. Lima tahun terakhir jumlah hot money mencapai US$ 24.5 miliar, padahal lima tahun sebelum krisis moneter 1998 hanya US$ 14.8 miliar. Utang luar negeri pemerintah tahun 1998 juga hanya US$ 54 miliar, sedangkan pada awal tahun 2008 telah mencapai US$ 88 miliar.

Perbedaan lainnya, bila krisis 1998 tidak terjadi saat harga komoditas internasional turun, maka krisis tahun 2008 dibarengi penurunan harga komoditas yang luar biasa. Bagi Indonesia faktor ini sangat signifikan karena separuh ekspor adalah komodias primer. Penurunan harga CPO, tambaga, nikel, dll, menurunkan kinerja ekspor. Di sisi industri, tingkat kapasitas terpakai tahun 1996 masih sebesar 85%, sedangkan tahun 2008 rata-rata pada level 50-60%, bahkan beberapa sub sektor hanya 30-40%. Kenaikan harga serta ketergantungan yang makin besar terhadap pangan dan energi dunia telah meningkatkan biaya produksi, sehingga selama tiga tahun terakhir industri mengalami pengkerutan dan percepatan de-industrialisasi (accelerated deindustrialization) terutama pada industri padat karya. Faktor-faktor tersebutlah yang menjadi titik lemah, sehingga saat terjadi resesi ekonomi di negara-negara maju, dampak yang terjadi di Indonesia bisa lebih lama dan dalam dibanding tahun 1998.


Krisis di sektor riil
Kenaikan harga pangan dan energi yang telah terjadi sebelum krisis telah mengakibatkan penurunan daya saing dan daya beli masyarakat. Melemahnya daya saing industri misalnya, terjadi akibat peningkatan biaya produksi dan hilangnya pasar. Di pasar internasional, Indonesia kalah dibanding strategi negara-negara pesaing seperti China, India maupun negara-negara industri baru seperti Vietnam, dll., sehingga pangsa pasar Indonesia terus tergerus. Di pasar domestik, akibat liberalisasi industri perdagangan yang tanpa strategi, pasar nasional untuk produk dengan nilai tambah dan teknologi rendah pun dikuasai oleh produk impor. Pakaian jadi misalnya, 77% pasar nasional dikuasai produk impor yang 70%nya masuk secara illegal. Produk alas kaki, 60-70% juga telah dibanjiri produk impor. Hal sama terjadi pada produk makanan, elekronik, termasuk berbagai bahan pangan seperti kedelai, daging sapi, susu, dll.

Percepatan deindustrialisasi bahkan telah diikuti pertumbuhan negatif di berbagai sektor padat karya sejak tahun 2007 seperti pada makanan, pakaian jadi, barang dari kayu, dll. Tidak mengherankan bila pada akhirnya terjadi gelombang PHK bahkan sejak tahun 2007 sebelum terjadi resesi ekonomi.

Selain struktur ekonomi, faktor yang menentukan kedalaman krisis adalah pilihan kebijakan. Sayangnya, model kebijakan SBY-JK masih menyontek resep IMF/Bank Dunia dengan memprioritaskan penyelamatan sektor finansial yang tidak pro terhadap sektor riil. Misalnya, menaikkan BI Rate hingga 9,75%, pada saat semua negara menurunkan hingga mendekati 0% untuk menyelamatkan ekonomi; mengalokasikan dana Rp 24 triliun untuk buy back saham, meskipun 65% adalah pemain fund manager dan investor asing, bukan untuk membeli barang dan jasa yang akan mendorong ekonomi domestik.

Dampak krisis bagi Indonesia diperkirakan akan dirasakan hingga 2010. Oleh karenanya, langkah membuat pagar penyelamatan sektor riil harus dilakukan dengan kebijakan moneter dan fiskal, maupun lewat kebijakan industri dan perdagangan. Untuk meningkatkan daya saing industri, langkah yang harus dilakukan adalah menekan biaya produksi dengan menurunkan tingkat suku bunga, menurunkan harga BBM, tarif listrik, biaya transportasi, dll. Sayangnya, kebijakan untuk menurunkan biaya tidak sepenuhnya pro sektor riil. Bahkan penurunan harga BBM justru menjadi pintu masuk dihapusnya BBM bersubsidi bagi rakyat, sehingga akan berpengaruh terhadap kepastian pasok dan harga karena akan naik tutun mengikuti harga pasar.

Selain menurunkan biaya, harus dilakukan upaya penciptaan pasar. Himbauan Presiden maupun demonstration effect para pejabat yang ’rela’ menggunakan produk dalam negeri tidaklah cukup, karena perlu dukungan kebijakan. Sayangnya pemerintah SBY-JK masih setengah hati untuk meninggalkan kebijakan neoliberal. Setelah ada desakan masyarakat, bulan Oktober pemerintah mengeluarkan Permendag No.44/M-DAG/PER/10/08 untuk membatasi banjir impor 5 produk UKM yakni makanan dan minuman, alas kaki, mainan anak, pakaian jadi dan elektronik. Namun, sebelum peraturan mulai berlaku pada tanggal 15 Desember, pemerintah menunda pemberlakuan peraturan tersebut hingga 1 Februari 2008.

Padahal dalam kondisi krisis, semua negara berpacu untuk membantu sektor bisnis agar dapat memenangkan persaingan global. Meskipun penundaan pembatasan impor hanya 2 bulan lebih, tetapi akan berdampak negatif karena ada peluang masuknya produk impor baik legal maupun illegal. Terbukti, setelah penundaan Permendag tersebut, pemerintah Cina memberikan Special Buyer Credit Facility bagi Indonesia. Anehnya, pemerintah Indonesia justru bangga. Padahal fasilitas ini akan mendorong masuknya produk-produk Cina karena importir Indonesia tidak perlu membayar tunai. Akibatnya, pasar garmen impor yang saat ini sudah 77% sangat mungkin menjadi lebih dari 90%. Demikian juga pasar barang dan jasa lainnya.

Sebagai penutup, keterpurukan sektor riil Indonesia ternyata bukan hanya akibat shock ekonomi dunia semata tetapi juga karena kesalahan dalam memilih respon kebijakan. Kombinasi dari kredibilitas prediksi yang rendah, sehingga pemerintah SBY tidak melakukan langkah antisipasi, dan pilihan kebijakan yang tidak mendahulukan kepentingan nasional, telah berakibat buruk. Bila pemerintah di berbagai negara memilih melakukan berbagai intervensi, maka di Indonesia yang memiliki struktur ekonomi rapuh, pemerintah justru melanjutkan kebijakan ekonomi neoliberal. Jangankan mengoreksi sistem dan paradigma ekonomi, memilih kebijakan ekonomi yang memprioritaskan kepentingan nasional dengan peran negara yang lebih besar saja tidak dilakukan.

No comments: