Laman

Sunday, June 19, 2011

Khilafah Akan Kembali di Tahun 2020

Share

Konferensi Rajab Yogya
GEMA Pembebasan. Sebuah penelitian yang cukup mencengangkan pada 2004 oleh National Intellegence Council (NIC) melansir kemungkinan kembalinya Khilafah Islamiyyah sebagai pemimpin dunia. Dewan intelejen AS tersebut dalam ramalannya memperhitungkan kebangkitan kekuatan Islam di samping kekuatan-kekuatan lain yang sudah eksis maupun terus menggeliat seperti AS dan Eropa atau China dan India.

“NIC meramalkan kebangkitan Khilafah Islamiyyah sangat mungkin menjadi penguasa di tahun 2020. Di samping kekuatan besar seperti AS atau China dan India,” ungkap Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saat jumpa pers usai Konferensi Rajab di Jogja Expo Center (JEC), Minggu (19/6).

Konferensi mengusung tema Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Khilafah dan dihadiri oleh sekitar 10.000 orang. Konferensi juga digelar secara serentak di sembilan kota.
Ismail Yusanto menegaskan konsep kekhalifahan dan syariat Islam merupakan satu-satunya cara (bukan pilihan) untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Terlebih lagi rakyat Indonesia tengah dirundung banyak masalah seperti kemiskinan dan kebodohan, pengangguran dan tingginya angka putus sekolah, kriminalitas dan maraknya pornografi dan pornoaksi serta ketidakadlan ekonomi.

“Dan itu semua terjadi sebagai akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang mencengkeram negeri ini. Sistem ini memang telah memberikan sejumlah kemajuan, tapi itu terbatas pada aspek material dan itu pun hanya dirasakan oleh sebagian kecil rakyat Indonesia,” katanya.

Khilafah sangat mungkin menjadi sebuah adikuasa baru yang akan menggantikan sistem-sistem yang ada seperti demokrasi dan kapitalisme. “Nyatanya ramalan tersebut datangnya dari Amerika (NIC) bukan dari pihak Islam. Dan perlu saya katakan saat 2006, Presiden Bush 16 kali mengucap tentang Khilafah Islamiyyah. Jika kita sendiri tidak meyakini, buat apa Barat ketakutan?” ucapnya.

Meski meyakini suatu saat Khilafah akan bangkit, namun HTI tidak menempuh cara dan sistem yang mendominasi dunia saat ini, seperti sistem demokrasi. Demokrasi dianggap bertentangan dengan prinsip Islam di dua titik.

“Pertama, hak membuat hukum ada di tangan rakyat atau wakil rakyat sedang dalam Islam itu adalah hak Allah. Kedua, dalam demokrasi pemimpin dipilih oleh rakyat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Namun dalam Islam pemimpin dipilih rakyat untuk menjalankan syariat Islam,” ucap Ismail.

Menurut Ismail, ada implikasi serius jika sebuah hukum atau perundangan adalah hasil atau kompromi yang tidak sesuai syariat Islam yang bisa berakibat tidak terwujudnya kesejahteraan umat. “Sebab itu kami antidemokrasi. Lebih baik disebut antidemokrasi daripada dicap anti-Islam. Namun saat ini banyak orang yang takut dicap antidemokrasi tapi santai saja malah bangga dicap anti-Islam,” tuturnya.

Jalur yang ditempuh HTI untuk mewujudkan kekhilafahan, kata Ismail, disebut sebagai cara a demokrasi. Seperti melalui proses sosial dan meyakinkan masyarakat (convience the people) serta melakukan linkage dengan berbagai pihak berpengaruh (influental people) sampai terjadi replacement kekuasaan.

No comments: