Laman

Tuesday, June 21, 2011

Adil dan Sejahtera di Bawah Naungan Khilafah Islamiyah, Bukan dengan Demokrasi

Share

Adil ?
GEMA Pembebasan. Demokrasi telah nyata-nyata gagal dalam menciptakan masyarakat adil, sejahtera, aman, yang diidam-idamkan oleh seluruh umat manusia. Sistem Kapitalisme yang menganut demokrasi yang berasas sekular itu juga telah menjerumuskan umat manusia ke jurang penderitaan dan kesengsaraan yang dalam. Memang, Kapitalisme telah membawa pertumbuhan ekonomi, tetapi itu hanya dinikmati oleh sebagian orang, kelompok, dan negara.

Di AS, misalnya, kemakmuran yang selanjutnya diikuti dengan sejahteranya kehidupan masyarakat AS bukanlah hasil demokrasi, tetapi buah dari imperialisme yang dilakukannya terhadap bangsa-bangsa lain. Di sejumlah negara lain di Barat, demokrasi menjamin keamanan rakyatnya, namun itu tidak berlaku bagi dunia lain. Atas nama keamanan nasional, sah-sah saja AS dan sekutu Baratnya, menyerang negara lain. Di satu sisi mereka mempraktikkan demokrasi, namun di wilayah lain pemerintahan diktator mereka pelihara. Kalau perlu, demokrasi diberangus di negara lain ketika dianggap membahayakan negara-negara Barat.

Demokrasi kemudian sekadar mitos yang menciptakan ketidakadilan dunia. Jika demikian, sistem apa yang mampu memberikan kebaikan bagi seluruh manusia? Pilihannya, jelas bukan sistem diktator atau kembali ke sistem Komunisme. Tidak ada pilihan kecuali sistem Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islam. Sistem Daulah Khilafah ini akan secara nyata memberikan kebaikan bagi seluruh umat manusia.

Daulah Khilafah: Pemerintah Kuat yang Memihak Rakyat
Salah satu alasan mengapa demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik (meskipun dalam realitanya hanyalah mitos) buat manusia adalah sistem pemerintahannya yang memihak rakyat, dan mewakili aspirasi rakyat. Sebab, mereka dipilih oleh rakyat dan diberhentikan oleh rakyat lewat kontrak sosial; mereka bisa dikritik bahkan dijatuhkan oleh rakyat lewat wakilnya di parlemen. Singkatnya, demokrasi adalah sistem yang baik bagi rakyat, karena pemerintahannya dipilih oleh rakyat, diawasi oleh rakyat, dan diberhentikan oleh rakyat.

Namun, ada asumsi keliru yang dibangun dari cara berpikir di atas, benarkah aspirasi atau kehendak rakyat selalu baik? Apalagi ternyata yang disebut aspirasi rakyat dalam sistem Kapitalisme bukanlah rakyat dalam pengertian sebenarnya, tetapi elit politik pemilik modal yang mengatasnamakan rakyat. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa aspirasi rakyat itu tidak selalu baik: parlemen AS (yang merupakan wakil rakyat) menyutujui pembantaian manusia di Irak, Afganistan, Vietnam, semata-mata demi kepentingan nasional AS. Seks bebas, pelacuran, homoseksual, dan lesbianisme disahkan oleh parlemen di Prancis; sementara jilbab yang menjaga kehormatan wanita justru dilarang. Atas nama rakyat pula, Bush menebar teror di seluruh dunia dalam rekayasa perangnya melawan terorisme. Karena itu, aspirasi rakyat bukanlah jaminan kebenaran yang sesungguhnya, karena bersumber dari akal manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsunya.

Ketika kedaulatan diserahkan kepada Allah Swt., bukan berarti pemerintah yang dibangun oleh Islam menjadi pemerintahan diktator dan tidak memperhatikan rakyat. Secara i‘tiqâdi, sistem yang bersumber dari Allah pastilah untuk kebaikan manusia. Bukti bahwa pemerintahan Islam adalah memperhatikan rakyat, bukan pemerintah diktator antara lain:

(1) Kekuasan (as-Sulthah) di tangan rakyat.
Dalam Islam, kekuasaan untuk melaksanakan hukum syariat Allah itu ada di tangan rakyat. Dalam pengertian, rakyatlah yang memiliki kekuasaan untuk memilih pemerintahan dengan mengangkat seorang penguasa (khalifah) dengan metode baiat. Pilihan rakyat ini tidak boleh dipaksa oleh siapapun (ikhtiyâr wa ridhâ). Dalam hal ini, pemilu bisa ditempuh sebagai uslûb (teknik) untuk memilih khalifah.

Namun demikian, rakyat tidak memiliki hak untuk menjatuhkan penguasa. Dalam Islam, standar kapan penguasa bisa dijatuhkan adalah hukum syariat, bukan kehendak rakyat. Artinya, apabila khalifah masih sah berdasarkan hukum syariat, dia tetap menjadi khalifah—meskipun seumur hidup. Sebaliknya, kalau khalifah melanggar hukum syariat yang menyebabkan dia harus diganti, seperti melakukan kekufuran yang nyata dengan mengubah hukum negara menjadi hukum sekular, saat itu pula khalifah boleh dijatuhkan—meskipun baru beberapa saat menjabat.

(2) Khalifah sebagai penguasa berhak dikritik rakyat.
Dalam Islam, khalifah bukanlah kepala negara yang tidak mungkin berbuat kesalahan. Pernyataan, tindakan, ataupun kebijakan khalifah bukanlah otomatis merupakan perintah Allah (seperti halnya dalam sistem teokrasi) yang tidak bisa dibantah. Khalifah, sebagai kepala negara, tetap harus merujuk pada al-Quran dan Sunnah sebagai dua sumber hukum utama dalam Islam. Oleh karena itu, jika keliru atau menyimpang, khalifah wajib untuk dikritik. Bahkan, aktivitas ini sangat mulia; yang mati karenanya kedudukannya sama dengan pemimpin para syuhada (Hamzah r.a). Rakyat boleh langsung mengkritik atau lewat wakil mereka di Majelis Umat. Namun, berbeda dengan demokrasi, yang menjadi alasan mengapa rakyat mengkritik penguasa adalah hukum syariat, bukan karena ketidaksukaan, persaingan politik, atau kepentingan.

Islam mengharamkan rakyat untuk melakukan tindakan bughât (memberontak) terhadap khalifah. Rasulullah saw. pernah ditanya tentang pemerintahan yang zalim, “Tidakkah kita perangi saja mereka itu dengan pedang (wahai Rasulullah?).”

«فَقَالَ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ»


Beliau menjawab, “Jangan, selagi mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam).” (HR Muslim).

Dalam hadis di atas tampak jelas bahwa Islam melarang aktivitas memberontak. Memberontak juga diartikan sebagai upaya keluar dari jamaah kaum Muslim. Keluar dari jamaah kaum Muslim adalah perbuatan dosa. Di samping itu, Islam juga menindak tegas bagi orang yang menebarkan kekacauan atau sparatisme. Dari sini tampaklah bahwa Islam menjamin terciptanya pemerintahan yang kuat lagi adil selama dia bersandar pada hukum Islam.

(3) Perselisihan rakyat dan penguasa ditangani oleh Mahkamah Mazhalim
Dalam sistem Khilafah, kalau terjadi perselisihan, rakyat boleh membawa kasus ini ke pengadilan yang menyelesaikan perselisihan antara rakyat dan penguasa. Khalifah dalam hal ini harus tunduk pada keputusan Mahkaman Mazhalim.

(4) Khalifah menjamin kebutuhan pokok dan kebutuhan kolektif vital rakyat.
Berbeda dengan aspirasi rakyat yang tidak selalu benar, rakyat pastilah harus terpenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan vitalnya agar kehidupan rakyat menjadi tenang, tenteram, dan sejahtera. Karena itu, dalam Islam, negara wajib menjamin kebutuhan pokok perindividu rakyat seperti sandang, pangan, dan papan (perumahan). Negara harus pula menjamin kebutuhan kolektif masyarakat yang vital seperti kesehatan, transportasi, keamanan, dan pendidikan. Semua itu wajib dipenuhi oleh Daulah Khilafah.

Daulah Khilafah: Menjamin Kesejahteraan Rakyat
Kemiskinan memang tidak bisa dihapuskan, namun Islam menjamin fakir miskin diberi haknya. Walhasil, orang yang fakir dan miskin tidaklah merasa khawatir untuk tidak bisa makan ataupun berteduh sebagaimana sekarang. Islam telah menjamin itu semua. Dalam hal ini, ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Daulah Khilafah untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

1. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer oleh negara.
Islam telah menetapkan kebutuhan primer (pokok) manusia terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.

Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja setiap saat—sehingga terbayang, rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan.

Dalam Islam, kewajiban pertama untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya berada di tangan seorang laki-laki. Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk berkerja memenuhi nafkahnya. Namun, kalau hal tersebut belum memenuhi kebutuhan pokoknya, keluarganya bertanggung jawab untuk memenuhinya.

Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (Kas Negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah saw. pernah bersabda:

«مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ وَمَنْ تَرَكَ كَلاً فَإِلَيْنَا»


Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami. (HR Muslim).

Apabila di Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih kepada kaum Muslim secara kolektif. Rasulullah saw. juga bersabda:

«أَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيْهِمْ أَمْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَةُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعاَلَى»


Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabâraka ta Ta‘âla terlepas dari mereka. (HR Ahmad).

«مَاآمَنَ بِى مَنْ بَاتَ شُعْباَنَ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ بِهِ»

Tidaklah beriman kepada-Ku siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR al-Bazzar).

Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharîbah (pajak) atas orang-orang kaya sehingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.

2. Pengaturan kepemilikan.
Pengaturan kepemilikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Dibolehkannya individu atau swasta menguasai sektor-sektor publik yang sebenarnya merupakan pemilikan umum menjadi penyebab penting kemiskinan di tengah rakyat. Contoh, minyak yang merupakan pemilikan umum, seharusnya hasilnya diserahkan ke Baitul Mal untuk mensejahterakan rakyat. Dalam sistem kapitalis, minyak dikuasi oleh pemilik modal kuat sehingga sebagian besar hasilnya disedot oleh mereka. Rakyat pun menderita.

Demikian juga listrik dan air yang sebenarnya merupakan pemilikan umum; rakyat harus mengkonsumsinya dengan semurah mungkin. Akan tetapi, dalam sistem kapitalis, keduanya diserahkan kepada swasta. Inilah yang membuat listrik dan air menjadi mahal sehingga membebani rakyat. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan.

Ada tiga jenis pemilikan dalam Islam: individu, umum, dan negara. Allah Swt. telah memberikan hak kepada individu untuk memiliki harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak, tentu sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya: hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain.

Adanya kepemilikan individu ini menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah, manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.

Sementara itu, aset yang tergolong kepemilikan umum tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: Pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap,1 misalnya: padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain. Kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu,2 misalnya: sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain. Ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya: emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.

Dalam praktiknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat; bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini jelas menjadikan aset-aset strategis masyarakat dapat dinikmati bersama-sama, tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa, sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalis. Dengan demikian, masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi, dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.

Adapun kepemilikan negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum Muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah (sesuai ijtihadnya) sebagai kepala negara. Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah: fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.

Adanya kepemilikan negara dalam Islam jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian, negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat, termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.

3. Distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan.

Dengan mengamati hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai, bahwa secara umum hukum-hukum tersebut senantiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali, secara langsung atau tidak langsung mengarah pada terciptanya distribusi kekayaan.

4. Penyediaan lapangan kerja.
Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian beliau saw. bersabda, “Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja.” (HR).

Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberikan nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif, sehingga kemiskinan dapat teratasi.

Adil dan Sejahtera Tanpa Demokrasi
Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat direalisasikan, yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kâffah.

Dalam kitab al-Amwâl karangan Abu Yusuf diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan sedekah, “Jika kamu memberi, cukupkanlah.”

Selanjutnya beliau berkata lagi, “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta.”3

Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu, membayar utang-utang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.

Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal ini, orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan.

Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup, bukan hanya bagi umat Muslim tetapi juga bagi umat non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam.

Kesimpulannya, sistem Islamlah yang sesungguhnya akan memberikan keadilan dan kesejahteraan, bukan demokrasi yang sekadar mitos.

No comments: