Laman

Friday, May 6, 2011

Hukum Ikut Pemilu dalam Demokrasi

Share

GEMA Pembebasan. Seorang Muslim wajib terikat dengan seluruh perintah dan larangan Allah, baik dalam perbuatan, perkataan maupun tindakan; kecil ataupun besar. Allah SWT. berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً

“Dan tidaklah layak bagi orang Mukmin laki-laki maupun bagi orang Mukmin perempuan, jika Allah dan rasul-Nyat telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dalam urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.s. al-Ahzab [33]: 36)

Para sahabat -ridhwanu-Llah ‘alaihim- telah bertanya tentang hukum syara’ dalam setiap urusan yang hidup mereka, dan mereka pun terikat dengannya. Ahmad telah mengeluarkan hadits dari Rafi’ bin Khudaij berkata: “Pada zaman Rasulullah saw. kami pernah menangkar tanah, kemudian kami menyewakannya dengan bagi hasil sepertiga dan seperempat dengan makanan yang sudah ditetapkan. Suatu hari, seorang laki-laki yang masih mempunyai hubungan paman denganku mendatangiku, lalu berkata: ‘Kami telah dilarang oleh Rasulullah saw. dari perkara yang bermanfaat, tetapi mentaati Allah dan Rasul-Nya jauh lebih bermanfaat bagi kami. Kami dilarang menangkar tanah, kemudian menyewakannya dengan bagi hasil seperti tiga dan seperempat dengan makanan tertentu.”

Pemilu Amerika sebentar lagi tiba. Banyak orang bertekad untuk mengikutinya agar bisa keluar dari krisis ekonomi, politik atau memperbaiki hak-hak sipil mereka. Kami ingin menjelaskan kepada, khususnya kaum Muslim, bahwa pemilu-pemilu ini, selain memang tidak akan pernah mengubah apapun yang dihadapi oleh masyarakat, yaitu musibah Kapitalisme dan demokrasi, pada saat yang sama kaum Muslim pun tidak boleh menjadi bagian dari kegiatan pemilu ini. Sebab, pemilu bukan sekedar memasukkan kertas di kotak suara, yang berisi nama calon tertentu, namun pemilu juga merupakan manifestasi perwakilan secara mutlak yang diberikan kepada sang calon, baik presiden, gubenur, anggota Kongres, walikota ataupun yang lain. Hukum syara’ tentang keikutsertaan dalam pemilu (wakalah) ini terkait dengan fakta yang menjadi tujuan pemilu tersebut. Jika pemilu tersebut terkait dengan aktivitas yang haram dilakukan, maka mengikuti pemilu hukumnya juga haram, karena pemilu tersebut bertujuan untuk memilih orang-orang yang akan melakukan perbuatan yang haram. Maka, tidak boleh seorang Muslim memilih seorang Muslim, atau yang lain, baik untuk memerintah, melegalisasi perundang-undangan Kufur ataupun menerapkan hukum-hukum Kufur.

Merupakan sesuatu yang jelas, bahwa perundang-undangan dan hukum di Amerika tidak berpijak pada Kitab Allah dan Sunah Rasulullah, juga tidak berpijak pada usul dan hukum Islam. Lebih dari itu, semuanya tadi bertolakbelakang dengan Islam. Sebab, perundang-undangan tersebut didasarkan pada akidah Sekularisme, dan menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Ketika memberikan mereka hak legislasi, dan bukannya Allah. Sedangkan UUD dan perundang-undangan di dalam Islam didasarkan pada akidah Islam yang menjadikan hak legislasi hanya di tangan Allah, bukannya manusia. Agama Allahlah yang memerintah manusia dalam seluruh aspek kehidupannya.

Terdapat banyak nas syara’ yang menjelaskan haramnya memerintah dengan kekufuran dan menerapkan hukum-hukum Kufur. Allah berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan, siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang Kafir.” (Q.s. al-Maidah [05]: 44)

Allah juga berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Dan, siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang Zalim.” (Q.s. al-Maidah [05]: 45)

Allah juga berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan, siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang Fasik.” (Q.s. al-Maidah [05]: 47)

Kata: yahkum di sini meliputi semua orang yang mempunyai otoritas dan kekuasaan untuk menjalankan urusan dan menerapkannya, baik kepala negara, menteri, maupun pembantu keduanya. Juga firman Allah:

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Q.s. al-Maidah [05]: 49)

Ini merupakan perkara yang pasti dari Allah kepada Rasul-Nya dan orang-orang Muslim setelah baginda, mengenai wajibnya memerintah berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah, baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Al-Qur’an juga dengan tegas menyatakan kedaulatan hukum syara’, dengan menegasikan keimanan dari siapa saja yang tidak menggunakan syariah sebagai hukum, atau siapa saja yang tidak menjadikan kedaulatan hukum syara’ sebagai penentu dalam hubungan antar sesama individu. Allah berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 65)

Al-Qur’an tidak hanya memerintahkan berhukum, tetapi juga mensyaratkan, selain itu, adanya ketundukan kepada syariah secara mutlak, dan tidak ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya ketika berhukum. Al-Qur’an juga menjelaskan, bahwa hukum Allah tidak boleh disekutukan dengan yang lain. Allah berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui..” (Q.s. Yusuf [12]: 40)

Allah berfirman:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيداً

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 60)

Dalam ayat ini, Allah mengecam orang-orang yang mengatakan beriman kepada Kitab, Sunnah dan kitab-kitab terdahulu, meskipun begitu mereka ingin berhukum pada selain syariat Allah, atau Taghut.

Begitu juga dengan aktivitas Kongres, yaitu aktivitas legislasi, sebagai representasi dari rakyat, yaitu menyusun perundang-undangan dan hukum, memberikan persetujuan pada draft dan perjanjian. Ini jelas tidak boleh. Di dalam Islam, legislasi itu hanyalah hak Allah SWT. Karena kedaulatan ada di tangan syara’. Di sini, hak legislasi tersebut ada di tangan anggota Kongres. Ini merupakan bentuk larangan yang dinyatakan dengan tegas, dan pelakunya dikecam, sebagaimana dalam firman Allah SWT:

اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S. at-Taubah: [09]: 31)

At-Tirmidzi, dalam kitab Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ‘Adi bin Hatim -radhiya-Llahu ‘anhu- berkata: ‘Saya mendatangi Nabi saw. ketika baginda sedang membaca surat Bara’ah:

اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam.” (Q.S. at-Taubah: [09]: 31)

Seraya bersabda: ‘Mereka memang tidak beribadah kepadanya, tetapi jika mereka menghalalkan sesuatu untuknya, mereka pun menghalalkannya; jika mereka mengharamkan sesuatu untuknya, maka mereka pun mengharamkannya.”

Membuat perundang-undangan dengan berpijak kepada UUD Kufur adalah wujud tindakan berhukum kepada selain syariat Allah. Padahal, meninggalkan Kitab dan Sunnah, secara syar’i, hukumnya haram. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 59)

Menyetujui draft dan perjanjian di sini berdasarkan prinsip perundang-undangan Kufur, dan karenanya persetujuan tersebut bertentangan dengan Islam. Allah SWT. Berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.s. al-Maidah [05]: 50)

Dalam Shahih Muslim, dari Ummu Salamah, telah dinyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ ‏‏عَرَفَ‏ ‏بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ

“Akan ada para penguasa. Mereka ada yang melakukan kemakrufan dan juga kemunkaran. Maka, siapa saja yang mengetahui (kemunkarannya dan tidak mengikutinya), maka dia terbebas dari dosa. Dan siapa saja yang mengingkari (kemungkarannya), maka dia selamat. Tetapi, siapa saja yang rela dan mengikutinya (maka, dia akan celaka). ” (H.R. Muslim)

Apakah ada yang lebih berat daripada melegalkan draft dan perjanjian pemerintah yang jelas tidak memerintah berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah, dibanding rela terhadap kemunkaran dan mengikutinya?

Ada yang mengatakan, Nabi Yusuf –‘alaihi as-salam- telah memerintah dengan hukum Kufur, maka kita pun boleh mengikuti beliau dalam perkara tersebut. Untuk membantah pandangan ini, kami tegaskan, bahwa Nabi Yusuf –‘alaihi as-salam- tetap terikat dengan perintah dan larangan Allah. Bagaimana tidak, beliau adalah Nabi yang maksum? Dan banyak ayat dalam surat Yusuf menjelaskan tentang sejauh mana keterikatan beliau pada perintah dan larangan Allah, hingga beliau pun lebih memilih penjara ketimbang maksiat. Allah SWT berfirman:

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ

“Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.” (Q.s. Yusuf [12]: 33)

Beliau juga mengatakan:

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ

“Sesungguhnya hukum itu hanyalah hak Allah.” (Q.s. Yusuf [12]: 40)

Lalu bagaiamna dibayangkan, seolah Nabi Yusuf memerintah berdasarkan hukum Kufur?! Juga sudah maklum, bahwa syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita. Bagi mereka yang tidak setuju dengannya, mereka menetapkan syarat, “selama syariat tersebut tidak bertentangan dengan syariat kita.” atau “selama belum dihapus.” Ayat-ayat sebelumnya, yang telah kami kemukakan ketika mengemukakan keharaman berhukum dengan hukum Kufur, semuanya adalah ayat-ayat yang menyatakan keharamannya secara qath’i, sehingga menurut kaidah ini, dengan tambahan, “selama belum dihapus.” menegaskan ketidakbolehan mengikuti Yusuf dalam perkara tersebut. Begitu pula dengan orang yang menyatakan, bahwa syariat sebelum kita adalah syariat bagi kita, maka dia harus membolehkan sujud kepada manusia, sebagaimana yang terjadi pada zaman Nabi Yusuf, ketika sujud kepada selain Allah diperbolehkan. Jika ada yang mengatakan bahwa sujud kepada selain Allah diharamkan di dalam Islam, karena adanya sejumlah dalil tentang perkara tersebut, maka saya juga harus katakan; apakah semua dalil yang telah kami sebutkan sebelumnya, tentang haramnya berhukum dengan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah atau terlibat di dalamnya tersebut tidak layak? Dengan demikian, siapa saja yang mengharamkan sujud kepada selain Allah, dia pun seharusnya mengharamkan berhukum kepada hukum Kufur. Sebab jika tidak, maka dia hanya mengikuti hawa nafsunya, dan itu juga haram hukumnya.

Tidak boleh mengatakan, bahwa kemaslahatan kaum Muslim mengharuskan untuk ikut pemilu. Sebab, kemaslahatan itu haruslah kemaslahatan yang diakui oleh syariat sebagai kemaslahatan kita. Sementara akal manusia cenderung timpang, berbeda dan kontradiksi dalam menganggap sesuatu; kadang disebut maslahat, kadang mudarat. Allah SWT berfirman:

وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.”(Q.S. al-Baqarah [02]: 216)

Begitu pula dengan kemaslahatan mengikuti pemilu telah banyak ayat dan dalil yang menyatakan, bahwa kemaslahatan tersebut dihapus dan dibatalkan. Kemaslahatan mengikuti pemilu itu juga merupakan kemaslahatan ilusif, tidak nyata, sebagaimana yang dinyatakan oleh orang yang memandang hal itu maslahat. Tidakkah cukup bukti rusaknya anggapan maslahat tersebut ketika kaum Muslim memilih George Bush Jr tahun 2000 M, ketika kaum Muslim mengira bahwa Bush Jr lebih maslahat ketimbang Algore, ketika dia berjanji kepada mereka akan menghapus bukti-bukti intelijen (sebagai bukti persidangan di pengadilan), yang ternyata dia merupakan musibah terbesar bagi khususnya kaum Muslim, dan dunia secara umum.

Wahai kaum Muslim:

Sesungguhnya mengikuti pemilu itu merupakan salah satu cara untuk mengintegrasikan Anda dan meleburkan Anda di dalam masyarakat ini, sebagaimana yang terjadi pada kelompok minoritas yang lain, juga untuk melunturkan identitas keislaman Anda, serta menjadikan standar untuk melakukan perbuatan berdasarkan kadar manfaat yang diperoleh, sebagaimana kondisi para penganut ideologi Kapitalis. Setelah itu, dia hanya terikat dengan hukum syariat dalam sebagian perkara ibadah. Sepakterjangnya yang lain, dalam perjalanannya pun berjalan mengikuti maslahat, bukan hukum syariah. Pemahaman dan nilai Islam pun berubah menjadi pemahaman dan nilai Kapitalisme.

Justru peranan Anda sekarang, ketika sistem Kapitalisme jelas telah gagal dalam mewujudkan keamanan, keadilan dan kehidupan manusia yang mulia, dan contoh paling tepat untuk itu adalah krisis ekonomi saat ini, adalah bukan dengan memberikan suara pada pemilu di sini atau di sana, atau mendukung calon ini atau yang lain. Sebaliknya, Anda berperan mengemukakan contoh keadilan pemerintahan dan ekonomi yang dibangun berdasarkan prinsip, bahwa hukum, legislasi dan kedaulatan itu hanya di tangan Allah Azz wa Jalla, bukan di tangan manusia dan hawa nafsu mereka. Perjuangan terbaik yang seharuskan Anda lakukan untuk diri Anda dan dunia adalah mengemban Islam kepada rakyat negeri ini, sebagaimana kaum Muslim terdahulu mengemban Islam kepada rakyat Indonesia, sehingga mereka berhasil membebaskannya dari kesusahan, kesempitan hidup dan kesedihan dengan meraih kebahagiaan dan kedamaian. Anda juga harus berjuang bersama para pejuang untuk mengembalikan kembali Khilafah berdasarkan tuntunan Nabi. Karena, tidak ada keraguan sedikit pun, bahwa Khilafah itu akan berdiri. Maka, raihlah kemuliaan di dunia dan kemenangan di akhirat.

Perkara yang halal itu tidak membutuhkan keharaman. Dan, dengan mengikuti hukum-hukum Allah di sana ada kebahagiaan di dunia serta kemenangan di akhirat. Para sahabat Rasulullah saw. bahkan pernah meninggalkan sembilan per sepuluh perkara halal karena takut akan terjatuh dalam keharaman. Lalu, bagaimana gerangan dengan sebagian orang yang tetap memilihnya, bahkan menganggap ikut pemilu sebagai kewajiban? Lalu di mana letak sikap protektif dan ghirah untuk menjaga hukum-hukum Allah?

Terakhir, kami tegaskan sebagai berikut:

1- Ikut pemilu dalam sistem demokrasi, secara syar’i, hukumnya haram. Tidak halal seorang Muslim mewakilkan urusannya kepada calon, baik di pemerintahan maupun legislatif.

2- Krisis finansial dan politik yang kita saksikan saat ini tak lebih dari buah yang nyata jauhnya manusia dari manhaj Allah dalam bidang pemerintahan, di bawah payung yang disebut Demokrasi Kapitalisme. Allah berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan siapa saja yang berpaling dari mengingat-Ku, maka dia berhak mendapatkan kehidupan yang sempit, dan kelak akan Kami kumpulkan pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.”(Q.s. Thaha [20]: 124)

3- Dunia saat ini sepakat, khususnya Amerika, bahwa mereka sangat membutuhkan sistem politik dan ekonomi baru yang tidak dibangun berdasarkan hawa nafsu dan pandangan manusia. Dan, kaum Muslimlah yang mampu memberikan sistem ini berdasarkan akidah Islam.

4- Kaum Muslim di sini berkewajiban untuk mengemban Islam kepada orang-orang non-Muslim sebagai sistem universal yang intinya membawa penyelesaian mendasar bagi semua problem manusia. Mereka juga seharusnya ikut dalam aktivitas untuk mengembalikan sistem politik Islam, yaitu sistem Khilafah Rasyidah yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw. sebagai berita gembira:

ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

“Kemudian berdiri Khilafah berdasarkan metode kenabian. ” (H.R. Ahmad)

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya, ketika mereka menyerukan kepada kalian apa yang bisa menghidupkan kalian.” (Q.s. al-Anfal [08]: 24)

No comments: