Laman

Saturday, October 23, 2010

Hukum Pembiayaan Talangan Haji

Share

GEMA Pembebasan. Pembiayaan talangan haji adalah pinjaman (qardh) dari bank syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh kursi (seat) haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Dana talangan ini dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Atas jasa peminjaman dana talangan ini, bank syariah memperoleh imbalan (fee/ujrah) yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.

Dasar fikihnya adalah akad qardh wa ijarah, sesuai Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang biaya pengurusan haji oleh LKS (lembaga keuangan syariah). Jadi akad qardh wa ijarah adalah gabungan dua akad, yaitu akad qardh (pinjaman) dengan akad ijarah (jasa), yaitu jasa LKS memberikan pinjaman kepada nasabah. Dalil utama fatwa DSN ini antara lain dalil yang membolehkan ijarah (seperti QS Al-Qashash [28]:26) dan dalil yang membolehkan meminjam uang (qardh) (seperti QS Al-Baqarah [2]:282).

Menurut kami, akad qardh wa ijarah tidak sah menjadi dasar pembiayaan talangan haji, karena : Pertama, dalil yang digunakan tak sesuai untuk membolehkan akad qardh wa ijarah. Sebab dalil yang ada hanya membolehkan qardh dan ijarah secara terpisah. Tak ada satupun dalil yang membolehkan qardh dan ijarah secara bersamaan dalam satu akad.

Kedua, penggabungan dua akad menjadi satu akad sendiri hukumnya tidak boleh. Memang sebagian ulama membolehkan, seperti Imam Ibnu Taimiyah (ulama Hanabilah) dan Imam Asyhab (ulama Malikiyah). Namun yang rajih adalah pendapat yang tidak membolehkan, yakni pendapat jumhur ulama empat mazhab, yakni ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Imam Sarakhsi, Al-Mabsuth, 13/16; Hasyiah al-Dasuqi ‘Ala Al-Syarh al-Kabir, 3/66; Imam Nawawi, Al-Majmu’, 9/230; Al-Syarh al-Kabir, 11/230; M. Abdul Aziz Hasan Zaid, Al-Ijarah Baina Al-Fiqh al-Islami wa al-Tathbiq al-Mu’ashir, hal. 45).

Ketiga, menurut ulama yang membolehkan penggabungan dua akad pun, penggabungan qardh dan ijarah termasuk akad yang tak dibolehkan. (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hal. 24).

Keempat, akad qardh wa ijarah tidak memenuhi syarat ijarah. Sebab dalam akad ijarah, disyaratkan obyek akadnya bukan jasa yang diharamkan. (M. Abdul Aziz Hasan Zaid, ibid., hal. 17; Taqiyuddin Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal.93).

Dalam akad qardh wa ijarah, obyek akadnya adalah jasa qardh dengan mensyaratkan tambahan imbalan. Ini tidak boleh, sebab setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, meski besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Kaidah fikih menyebutkan : Kullu qardhin syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram bighairi khilaf. (Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat). (M. Sa’id Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 8/484).

Kesimpulannya, pembiayaan talangan haji hukumnya haram. Sebab fatwa DSN tentang akad qardh wa ijarah yang mendasarinya tidak sah secara syar’i. Dengan kata lain, fatwa DSN mengenai qardh wa ijarah menurut kami keliru dan tidak halal diamalkan. Wallahu a’lam. [Muhammad Shiddiq al-Jawi]

No comments: