Laman

Friday, November 28, 2008

Negara yang Mati dalam Bingkai Demokrasi

Share

Kesan bahwa Negara indonesia ini sudah mati semakin jelas. Sebab saat ini Negara tidak lagi menjalankan fungsinya sungguh-sungguh. Akibatnya apa yang menjadi tujuan Negara semakin jauh dari harapan. Semua pasti sepakat bahwa Negara dibentuk untuk mencapai tujuan utama dari adanya negara antara lain: menjamin kesejahteraan, keamanan dan menyelesaikan perselisihan diantara masyarakat.

Namun di Indonesia Negara malah cendrung lepas tangan dan membiarkan rakyatnya mengurus urusannya sendiri. Lihatlah ketika para lulusan SMA tidak bisa melanjutkan keperguruan tinggi karena biaya kuliah yang melangit. Negara nyaris tidak berbuat banyak, saat banyak anak-anak yang sakit bahkan mati karena busung lapar dan kekurangan gizi. Tidak terhitung rakyat miskin yang harus menahan sakitnya karena tidak punya uang untuk berobat kerumah sakit. Alih-alih membangun rumah untuk rakyat miskin, yang dilakukan Negara malah menggusur perumahan kumuh mereka dengan alasan mengganggu kenyamanan dan keindahan kota. Rakyat pun harus mengurus diri mereka sendiri.

Kita menyaksikan bagaimana pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, perampokan terus menerus terjadi seakan tidak bisa dicegah. Rakyat lagi-lagi harus mengurus urusannya sendiri. Mereka terpaksa harus menyewa petugas keamanan swasta atau ronda dimalam hari. Belum lagi persoalan Jalan yang rusak, kemacetan lalu lintas, pelacuran, narkoba, minuman keras pornogrfi dll. Korupsi juga masih terus terjadi, bahkan menimpa aparat yang seharusnya menegakkan hukum. Tentu saja bukan tanpa alasan jika sebuah lembaga anti korupsi menyebutkan lembaga penting seperti DPR, kepolisian dan peradilan justru menjadi lahan subur korupsi. Kita bisa menyimpulkan hampir tidak ada yang tuntas diselesaikan.

Itulah secuil contoh potret buram bangsa Indonesia yang hidup dalam bingkai demokrasi. Dengan demokrasi maka meluncurlah berbagai kebijakan yang sangat berpihak kepada para kapitalis (pemilik modal). Seperti munculnya UU privatisasi, deregulasi dan liberalisasi perdagangan. Peran dominan para kapitalis secara terselubung telah membuat terjadinya pergeseran kekuasaan. Secara de jure memang pemerintahlah yang berkuasa, namun secara de facto para kapitalislah yang menjadi tuannya

Demokrasi, Agenda Amerika Yang Harus Diwaspadai

Demokratisasi didunia Islam termasuk juga Indonesia merupakan salah satu isu yang paling mengemuka dalam tahun-tahun belakangan ini. Hal ini tidak terlepas dari agenda besar amerika yang telah menjadikan demokratisasi sebagai strategi untuk meraih kepentingan nasionalnya dinegeri ini. Amerika mengklaim bahwa demokrasi dan kebebasan merupakan garansi bagi terciptanya kebahagiaan, kedamaian, kemajuan, kemakmuran dan anti diktator. Bangsa itu juga memberikan kuliah tentang demokrasi kepada negara-negara kaum muslim yang menjadi jajahannya, yang mana tujuannya agar demokrasi menjadi rujukan utama kaum muslim secara politik maupun pemikiran cepat atau lambat.

Persoalan ini jelas hendaknya menuntut sikap kritis kaum muslim, bukan malah mengamini kata-kata bush ketika ia mengatakan : harus jelas bagi semua, bahwa islam yang dianut lebih dari seperlima penduduk dunia saat ini memiliki hubungan erat dengan demokrasi.
Benarkah demikian? Tentu saja tidak!

Kebobrokan Trias Politika

Montesquieu, dalam the Spirit of Laws menggagas doktrin trias politika yang kemudian menjadi pilar penting negara sekular-demokrasi seperti yang diterapkan oleh bangsa ini. yang mana kekuasaan eksekutifnya diserahkan kepada presiden atau perdana menteri; legislatifnya (parlemen) memiliki kekuasaan untuk membuat hukum; dan yudikatifnya diserahkan kepada lembaga pengadilan.

Secara teoretis, trias politika diharapkan bisa mencegah pemerintah tiranik. Lembaga legislatif, karena merupakan wakil rakyat, diharapkan akan menghasilkan hukum dan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan rakyat. Lembaga ini diharapkan pula akan selalu mengoreksi kebijakan pemerintah. Adapun pihak eksekutif (pemerintah) akan memperhatikan rakyat sepenuhnya, karena kalau tidak, rakyat tidak akan lagi memilih mereka. Yudikatif pun diharapkan mandiri dan independen untuk mengadili pelanggaran hukum yang terjadi. Namun, realitanya tidak seindah doktrin yang diharapkan.

Sistem demokrasi dengan trias politikanya ternyata membentuk rezim “otoritarian baru”, yakni “pemilik modal”. Para pemilik modallah yang kemudian menguasai ketiga lembaga negara demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif). Fungsi ketiganya pun lumpuh di bawah ketiak pemilik modal. Lahirlah negara korporasi; penguasa pun 'berselingkuh' dengan “pengusaha”. Penguasa lebih tunduk kepada pengusaha yang mendanainya. Maklum, untuk bisa terpilih, seorang penguasa butuh dana yang besar untuk kampanye. Adapun yudikatif tutup mata terhadap pelanggaran eksekutif, pasalnya yudikatif juga mudah disuap.

Produk hukum yang dilahirkan oleh Parlemen sering tidak memihak rakyat. Di Indonesia DPR mengeluarkan UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air yang pro-liberal. Berdasarkan UU Migas Pemerintah membuat kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM. Akibatnya, harga BBM dalam negeri naik dan rakyat yang menjadi korbannya. Berdasarkan UU Kelistrikan PLN pun secara bertahap di privatisasi. Dipastikan dengan privatisasi PLN, listrik akan semakin mahal. Nyaris sama dengan legislatif, kekuasaan eksekutif pun tidak memihak rakyat.

Hubungan “penguasa”-“pengusaha” inilah yang terjadi di Indonesia dan juga diseluruh negara yang menganut demokrasi. Banyak elit politik yang juga dikenal sebagai pengusaha. Kalau keadaannya seperti itu, sangat mustahil diharapkan parlemen yang mengklaim wakil rakyat bisa kritis terhadap penguasa; mustahil pula diharapkan penguasa akan benar-benar berpihak kepada rakyat. Sebabnya, mereka memiliki kepentingan yang sama, yakni “Bisnis”. Tragisnya, bukan rahasia lagi, kalau isu suap sering muncul setiap kali DPR membuat UU strategis.

Nasib yang sama terjadi di yudikatif. Rezim otoritarian pemilik modal bermain untuk menggolkan kepentingannya. Kasus suap yang dituduhkan kepada Urip Tri Gunawan salah satu contoh kasusnya. Koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI ini tertangkap tangan oleh KPK menerima suap senilai Rp 6 miliar. Kalau eksekutif mengabdi kepada pemilik modal, legislatif juga membuat kebijakan yang mengabdi kepada pemilik modal dan yudikatif pun disuap oleh pemilik modal, bagaimana mungkin trias politika akan berfungsi?

Mungkin para elit politik dan juga para aktivis pengusung demokrasi mengatakan bahwa kita butuh proses, kita baru memasuki era baru seraya menyalahkan era sebelumnya. Pertanyaannya, haruskah rakyat menunggu proses yang demikian lama. Sementara kematian, sakit dan kelaparan ada didepan mata mereka? Kalau pun alasan mereka bahwa kita butuh proses, maka seharusnya yang namanya proses tentunya semakin lama menampakkan hasil yang makin baik, Tapi kenyataannya toh makin memperparah keadaan. Apalagi tidaklah tepat jika dikatakan kita baru memasuki era baru. Bukankah sejak awal kemerdekaan negara ini sudah menjalankan sistem demokrasi?. Artinya sudah berpuluh tahun kita menjalankan sistem kufur ini tanpa hasil yang menggembirakan. Kalau begitu kenyataanya mengapa kita masih mau mempertahankan sistem yang penuh dengan kebusukan ini?.

Demokrasi pun telah melahirkan personal-personal dan kelompok pelaku politik yang pragmatis dan oportunis. Fokus perhatian dari golongan ini adalah kekuasaan. Demi kekuasaan apapun akan dilakukan, termasuk bersekutu dan berkoaliasi dengan kelompok yang berseberangan secara keyakinan visi ideologis. Bila diperhatikan gejala ini tidak hanya berlaku bagi partai dan kelompok yang sejak awal menyatakan diri sebagai kelompok sekular, tapi juga kelompok-kelompok yang diawal berdirinya menyatakan berasas Islam. ironis memang..!!!

Pandangan Islam Tentang Demokrasi

Konsekwensi dari penerapan demokrasi adalah bahwa hukum dan undang-undang dibuat bukan merujuk kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi kepada pendapat-pendapat manusia. Misalnya Pada awal tahun 2006 ramai dibicarakan mengenai UU anti pornografi. Dan bahan-bahan untuk UU anti pornografi bukan digali oleh parlemen dari sumber2 hukum syara', tapi dari pendapat para seniman, aktivis feminis, budayawan bahkan penyanyi dangdut yang sering tampil tidak senonoh. Sempurna, inilah wujud demokrasi yang sesungguhnya, pendapat manusia untuk hukum dan undang-undang. Demokrasi bagi beberapa kalangan termasuk aktivis Islam menjadi suatu realita yang tidak terubahkan, keagungannya bahkan melebihi ajaran Islam.

Demokrasi telah dianggap serupa ajaran suci dimana semua konsep lain termasuk Islam harus tunduk dan mengadaptasi diri. Demokrasi, dengan demikian, telah menjadi sebuah ide panutan (qiyadah fikriyah) bagi kebanyakan kaum muslimin saat ini. Dan bahkan secara keterlaluan beberapa kalangan aktivis bahkan Tokoh Islam, dengan berani dan bangga mengatakan bahwa tidak ada dikotomi antara demokrasi dan Islam. Padahal kalau mau dipelajari lagi, sungguh terdapat perbedaan yang mendasar dan terlalu kasat mata antara demokrasi dan Islam. Namun inilah kenyataan yang dialami oleh dunia Islam secara dominan saat ini.

Kondisi politik yang begitu mencolok saat ini adalah rendahnya posisi tawar bangsa ini dihadapan negeri-negeri Barat. Banyak perilaku ”kurang ajar” pihak Barat yang diterima secara ”qanaah” oleh para penguasa di negeri yang menganut demokrasi ini. Pelecehan terhadap Al Quran terjadi di penjara Guantanamo Kuba, tempat dimana banyak muslim yang ditahan tanpa proses peradilan dengan dalih terorisme. Di tempat ini Al Quran dijejalkan kedalam WC oleh tentara Amerika. Sementara pelecehan terhadap Nabi Muhammad dilakukan oleh harian Denmark Jylland Posten Denmark, dimana sosok Rasulullah dikartunkan secara brutal oleh para kartunis Denmark, sebagai sosok yang bersorban bom dan beringas. Yang terbaru adalah kasus penghinaan terhadap nilai pangkal keimanan kaum muslimin, yaitu Al Quran dan islam itu sendiri yang digambarkan lewat film “FITNA'.

Namun segala penghinaan yang sangat prinsipil ini membuat penguasa ini hanya melongo saja dengan dalih bahwa itu kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena penghinaan tersebut suatu tindakan yang wajar dalam demokrasi sebagai kebebasan berpendapat. Mereka cuma bisa protes dan menghimbau, tidak lebih. laiknya para banci penakut penguasa negeri ini. Bahkan untuk sekedar memutus hubungan diplomatik dengan negara-negara kafir itu saja mereka tidak berani. Ketergantungan yang keterlaluan terhadap bangsa Barat terutama dalam bidang kebijakan politik, perekonomian dan teknologi yang bercampur dengan rasa inferioritas akut yang dialami para penguasa ini.

Khilafah & Syari'ah Islam Solusi Satu-Satunya

Disinilah letak pentingnya penegakan Syari'ah Islam dengan Sistem Khilafah sebagai institusinya yang menggantikan sistem demokrasi. Syari'ah dan khilafah lah yang akan menyelesaikan persoalan secara tuntas. Karena apa yang terjadi sekarang sudah jelas penyebabnya yaitu sistem pemerintahan demokrasi yang dipakai. Fakta juga menunjukkan bahwa sudah beberapa kali pejabat negara ini diganti setiap pemilu, akan tetapi masalah negeri ini tidak juga kunjung selesai. Begitu juga kedepannya yang sebentar lagi 2009 akan digelar pesta ritual lima tahunan”demokrasi” yang tentunya akan menghabiskan dana rakyat trilyunan rupiah. Kami yakin siapapun nanti yang akan memimpin kalau sistemnya masih demokrasi, pasti gagal. maka hanya orang-orang bodohlah yang masih berharap akan perubahan setelah pemilu nanti. Bahkan terlebih bodoh lagi kalau masih ada kelompok Islam yang ikut-ikutan latah memperjuangkan bahkan mensukseskan pesta demokrasi kufur ini.
Islam sebagai agama yang komprehensif memiliki metode (tharîqah) sendiri untuk mensejahterakan bangsa dan mencegah rezim otoriter. Titik awal mengapa sebuah rezim menjadi otoriter sesungguhnya terletak pada sumber hukum. Sebab, dari sumber hukum inilah undang-undang atau sebuah kebijakan dibuat. Sumber hukum yang diserahkan kepada manusia menimbulkan potensi besar bagi manusia itu untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingannya.

Itulah yang membuat mengapa raja pada masa kegelapan Eropa menjadi diktator. Raja mengklaim dirinya wakil Tuhan di muka bumi. Titah Raja adalah titah Tuhan, padahal agama kristen sendiri tidak memiliki sistem yang utuh dan lengkap untuk mengatur manusia. Muncullah aturan raja yang tidak bisa digugat karena dianggap perintah Tuhan. Hal yang sama terjadi dalam sistem demokrasi, Ketika parlemen yang mengklaim atas nama rakyat diberi wewenang membuat hukum, jadilah parlemen membuat kebijakan yang sejalan dengan kepentingannya, yakni kepentingan pemilik modal.

Berbeda dengan Islam, yang menjadikan kedaulatan ada di tangan syariah, yakni Allah Swt., dengan sumber hukum al-Quran dan as-Sunnah. Perintah Khalifah sebagai kepala negara tidak otomatis sebagai perintah Tuhan. Khalifah dalam kebijakannya harus merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah. Kalau perintah Khalifah menyimpang dari sumber hukum itu, ia tidak wajib ditaati.

khatimah

Demikanlah wajah suram nan kelam dari negara demokrasi. Padanya terkumpul kerusakan, kebobrokan, keharaman dan ancaman kehancuran ketika diadopsi oleh negara ini. Maka adalah kewajiban dari kita bersama untuk melancarkan upaya dekonstruksi terhadap sistem busuk ini. Dekonstruksi permanen yang membuatnya tidak akan pernah bangun lagi dari kuburannya.

Sudah Seharusnya kita kembali pada Islam. System kenegaraan dalam Islam itu adalah system khilafah. Khilafah inilah yang memerintah berdasarkan hukum Islam. Karena itu tugas umat Islam khususnya pergerakan Islam sekarang adalah berjuang agar khilafah Islamiyyah segera tegak lagi di muka bumi. Mari kita sambut datangnya khilafah al minhaj nubuwah ini. Janganlah kita berdiam diri, Tapi berjuang dengan perjuangan yang benar. Salam Pembebasanyya [GP]

1 comment:

ANNAS said...

Produsen dan pengedar miras di negara demokrasi ini sejak JAman DahULu hingga Sekarang masih dibolehkan beroperasi. Sampai kapan yaa?? #mikir #Islam